Selasa, 24 Mei 2011

ketaksanaan (ambiguitas)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang tidak pernah luput dari komunikasi. Komunikasi merupakan suatu cara bagi manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Salah satunya dengan menggunakan media bahasa. Dengan menggunakan bahasa inilah manusia dapat berkomunikasi.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita, karena dengan adanya bahasa Indonesia, seluruh suku yang ada di Indonesia dapat disatukan sehingga dapat berkomunikasi dengan baik yaitu dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “bahasa menunjukkan bangsa”. Tutur bahasa seseorang menunjukkan tinggi rendahnya budaya orang itu.
Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan jumlah penduduk yang besar pula dan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Disitulah letak fungsi bahasa Indonesia yaitu menyatukan beragam bahasa sehingga menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Meskipun bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan sudah diresmikan secara nasional, tetapi masih ada penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku, yaitu masih ada kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa, baik itu dalam pengucapan maupun pada penulisan.
Salah satu jenis kesalahan dalam berbahasa dan komunikasi suatu tulisan atau tuturan ialah karena adanya ambiguitas atau sering disebut ketaksaan. Karena banyaknya kesalahpahaman dalam memaknai suatu kata atau kalimat.


B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu yang dimaksud dengan ketaksanaan (Ambiguitas)
2. Untuk mengetahui berbagai jenis ketaksanaan
3. Untuk mengetahui perkembangan makna dengan fakfor-faktor yang mempengaruhinya.

C. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah, “Ketaksanaan (Ambiguitas)”. Untuk membarikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Pengertian Ketaksanaan (Ambiguitas)
2. Jenis ketaksanaan
3. Perkembangan makna dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini yaitu, melalui penulisan ini kita akan mendapat pengetahuan baru tentang kesalahan berbahasa khususnya ketaksanaan (ambiguitas) dan perkembangan makna, sehingga nantinya kita dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metode Penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini menggunakan metode heuristik. Metode heuristik yaitu proses pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dalam melakukan penelitian. Metode ini dipilih karena pada hakikatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan. Selain itu, penyusun juga menggunakan studi literatur sebagai teknik pendekatan dalam proses penyusunannya.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu :
Bagian pertama adalah pendahuluan. Dalam bagian ini penyusun memaparkan beberapa pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan permasalahan utama. Pada bagian pendahuluan ini di paparkan tentang latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bagian kedua yaitu pembahasan. Pada bagian ini merupakan bagian utama yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah. Penyusun berusaha mendeskripsikan beberapa temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bagian ketiga yaitu kesimpulan. Pada kesempatan ini penyusun berusaha untuk mengemukakan terhadap semua permasalahan-permasalahan yang dikemukakan oleh penyusun dalam perumusan masalah.







BAB II
PEMBAHASAN

KETAKSANAAN ATAU AMBIGUITAS
1. Definisi ketaksanaan (ambiguitas)

Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva) 1 sifat atau hal yang berarti dua : kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2 ketidaktentuan; ketidakjelasan; 3 kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; 4 kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: hlm.27).
Ambiguitas berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan (Alwi, 2002:36). Ketaksaan dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki lebih dari satu makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Tidak dapat dipungkiri keambiguan yang mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis.
Saat pembicaraan lisan mungkin dapat diantisipasi dengan pengucapan yang agak perlahan, sedangkan untuk yang tertulis apabila kurang sedikit saja tanda baca maka kita akan menafsirkan suatu kalimat atau kata menjadi berbeda dari makna yang diinginkan oleh penulis. Dari sudut pandang linguistik murni, ada tiga bentuk ambiguitas, yaitu :
1.1 ambiguitas fonetik,
1.2 ambiguitas gramatikal
1.3 ambiguitas leksikal (Ullmann, diadaptasi Sumarsono, 2007:2002).
Ketaksanaan atau ambiguitas merupakan bagian makna dari bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksanaan atau ambiguitas dapat terjadi pada sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksanaan atau ambiguitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasa untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna.
Ketaksanaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Sehubungan dengan ketaksanaan ini Kompson (1977) yang dikutip oleh Ullmann (1976) dalam Djajasudarma (1993) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksanaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksanaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar.
2. Jenis-jenis ketaksanaan :

1) Ketaksanaan Fonetis
Ketaksanaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem. Ketaksanaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.
Contoh : (beruang) ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina) ‘sebuah ginjal’ atau ‘sebuah telinga’; di dalam bahasaSunda pigeulisna ‘giliran cantiknya’ atau pigeu lisna ‘bisu Lisna’.
Ketaksanaan fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya.
Contoh : seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksanaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkannya.

2) Ketaksanaan Gramatikal
Ketaksanaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan stuktur bahasa. Ketaksanaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksanaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif, yaitu :
Pertama, ketaksanaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal.
Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda : ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’.
Kedua adalah ketaksanaan pada frase yang mirip. Setiap kata membentuk frase yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
Misalnya, di dalam bahasa Indonesia frase orang tua dapat bermakana ganda ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-bapak’, demikian pula kalimat “Tono anak Tata sakit.” Dapat menimbulkan ketaksanaan sehingga memiliki alternatif :
a. Tono, anak Tata, sakit (Tata yang sakit)
b. Tono, anak, Tata, sakit (tiga orang yang sakit)
c. Tono! anak Tata sakit (anak Tata sakit) dst.

3) Ketaksanaan Leksikal
Ketaksanaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata lain ketaksanaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin mengacu pada ‘abang’ atau ‘bank’ bentuk sepperti itu dikatakan polyvalency yang ddapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonim.
Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976), misalnya, kata haram di dalam bahasa Indonesia bisa bermakna :
1. Terlarang, tidak halal
Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
2. Suci, tidak boleh dibuat sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atas bumi.
3. Sama sekali tidak, sungguh-sungguh
Tidak selangkah haram aku surut.
4. Terlarang oleh undang-undang, tidak sah
PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. Haramjadah
Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.

Segi kedua adalah homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia kata bisa berarti ‘dapat’ atau ‘racun’, atau kata pukul yang berarti ‘jam’ atau ‘ketuk’. Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksanaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.
Djajasudarma (1993) menyebutkan beberapa kekaburan makna dapat muncul akibat dari, antara lain :
1. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Missalnya, kata buku yang memilki makna ganda: kalimat Ali anak Amat sakit belum-lah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur supra-segmental yang jelas.
2. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3. Batas makna yang dihubungkan dengan bahsa yng di luar bahas tidak jelas.
Misalnya, sampai dimana batas kata pandai itu.
4. Kurang akrabnya kata yng kita pakai dengan acuannya (refe-rentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada situasi tertentu.











PERKEMBANGAN MAKNA
Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, baik berubah maupun bergeser. Di dalam hal ini perkembangan meliputi segala hal tentang perubahan makna baik yang meluas, menyempit, atau yang bergeser maknanya. Pemakai bahasa yang menggunakan kata-kata dan kalimat, pemakai itu pila yang menambah, mengurangi atau mengubah kata-kata atau kalimat.
Gejala perubahan makna sebagai akibat dari perkembangan makna oleh para pemakai bahasa. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia. Sejalan dengan hal tersebut karena manusia yang menggunakan bahasa maka bahasa akan berkembang dan makna pun ikut berkembang. Faktor-faktor yang dapat menjadikan suatu bahasa bisa berubah, antara lain:
1) Bahasa berkembang seperti yang dikatakan Meilet, “this continuous way from one generation to another”.
2) Makna kata itu samar (bisa ‘dapat’ atau bisa ‘racun’ tanpa konteks tak jelas maknanya).
3) Kehilangan motivasi (loss of motivation)
4) Adanya makna ganda.
5) Karena ambigu (ketaksaan) “amoigous context”.
6) Struktur kosakata.
Faktor-faktor yang disebutkan merupakan hal yang dapat mengakibatkan perubahan makna, pembatasan makna dan pergeseran makna yang terangkum di dalam perkembangan makna.
1. Perubahan Makna
Faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan makna sebagai akibat perkembangan bahasa. Perubahan makna dapat pula terjadi akibat :
1) Faktor kebahasaan (linguistic causes),
2) Faktor kesejarahan (historical causes),
3) Sebab sosial (social causes),
4) Faktor psikologis (psychological causes) yang berupa: faktor emotif, kata-kata tabu: (1)tabu karena takut, (2)tabu karena kehalusan, (3)tabu karena kesopanan,
5) Pengaruh bahasa asing
6) Karena kebutuhan akan kata-kata baru
Sebab lain linguistis berhubungan dengan faktor kebahasaan, baik yang ada hubungannya dengan fonologi, morfologi atau sintaksis. Kata sahaya pada mulanya dihubungkan dengan budak tetapi dengan perubahan menjadi saya, maka kata tersebut selalu mengacu kepada pronomina pertama netral (tidak ada unsur tidak hormat/hormat), dan bila dibandingkan dengan aku, maka aku mengandung unsur intim. Pronomina persona pertama jamak bahasa Indonesia kita menjadi kita-kita ‘meremehkan’ atau ‘menganggap enteng’.
Sebab historis adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor kesejarahan perkembangan kata. Misalnya kata negosiasi berasal dari kata Inggris negotiation ‘perundingan’. Kata tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia pada waktu perang Inggris dengan Argentina. Demikian pula, kata seni yang makna asalnya adalah ‘air kencing’, tetapi sekarang berubah maknanya menjadi ‘segala sesuatu yang indah’.
Sebab sosial muncul akibat perkembangan kata itu di masyarakat, misalnya kata gerombolan pada mulanya bermakna ‘orang yang beerkumpul’ atau ‘kerumunan orang’, tetapi kemudian kata tersebut tidak disukai lagi karena selalu dihubungkan dengan ‘pemberontak’ atau ‘perampok’.
Kata simposium pada mulanya bermakna ‘orang yang minum-minum di restoran dan kadang-kadang ada acara dansa yang diselingi diskusi’. Dewasa ini kata simposium lebih menitikberatkan pada diskusi, membahas berbagai masalah dalam bidang ilmu tertentu. Kebutuhan akan kata baru sebagai akibat perkembangan pikiran manusia. Kebutuhan tersebut bukan saja karena kata atau istilah itu belum ada, tetapi orang merasa perlu menciptakan istilah baru untuk suatu konsep. Misalnya, kata anda muncul karena kurang enak bila mengatakan saudara. Demikian pula kata yang dirasakan terlalu kasar, seperti kata bui, tutupan, atau penjara diganti dengan lembaga kemasyakaratan, konsepnya pun berubah, bukan saja menahan seseorang, tetapi menahan dan menyadarkan mereka agar dapat menjalankan fungsi kemanusiaan yang wajar bila kembali ke masyarakat.

1.1 Perubahan Makna dari Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia
Perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, sebagai contoh misalnya kata seni yang kemudian di dalam bahasa Indonesia bermakna sepadan dengan bahasa Belanda kunst. Bila kita melihat makna kata seni yang berarti (i) ‘halus’, (ii) air seni ‘air kencing’, (iii) ‘kecakapan membuat sesuatu yang elok-elok atau indah’ (Poerwadarminta, 1976: 916-917). Bagi masyarakat Melayu kata seni lebih banyak dihubungkan dengan air seni atau air kencing.
Djadjasudarma (1993), menjelaskan kosakata bahasa daerah tertentu yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dirasakan tidak layak diucapkan bagi daerahnya, tetapi di dalam bahasa Indonesia maknanya menjadi layak dan dipakai oleh masyarakat bahasa Indonesia yang berasal dari daerah lain, seperti kata-kata:
1) butuh, berasal dari bahasa Palembang butuh ‘alat kelamin laki-laki’ di dalam bahasa Indonesia selain butuh, didapatkan pula membutuhkan, dibutuhkan dan makna butuh menjadi ‘perlu’.
2) Kata tele bagi masyarakat Gorontalo berarti ‘alat kelamin perempuan’, tetapi di dalam bahasa Indonesia dipakai bertele-tele, lebih banyak dihubungkan dengan berkepanjangan ketika menjelaskan sesuatu.
3) Kata momok yang bermakna ‘alat kelamin perempuan’ bagi penutur bahasa Indonesia yang berbahasa ibu sunda, di dalam bahasa Indonesia bergeser menjadi ‘hantu’ masyarakat bahasa Indonesia yang tidak berbahasa ibu sunda tidak merasa apabila memakai kata tersebut.
Selanjutnya, kata-kata daerah yang masuk ke dalam bahasa Indonesia yang dirasakan tidak layak diucapkan bagi suatu daerah, tetapi tidak demikian bagi daerah lainnya, dan lama-kelamaan mungkin tidak dirasakan lagi ketakutan untuk mengungkapkannya, seperti pada ekspresi berikut :
1. Hal tersebut membutuhkan pemikiran lebih lanjut.
2. Jangan bertele-tele kalau berbicara.

Bila dirasakan tidak layak karena alasan makna yang berasal dari bahasa daerah, maka akan diganti dengan :
1. Hal tersebut memerlukan pemikiran lebih lanjut.
2. Jangan berkepanjangan kalau berbicara!
Melihat kenyataan di atas perubahan dapat terjadi pada kosakata bahasa daerah yang dipungut bahasa Indonesia.

1.2 Perubahan Makna Akibat Lingkungan

Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di dalam lingkungan tertentu belum tentu sama makna dengan kata yang dipakai di lingkungan lain. Misalnya, kata seperti cetak, bagi yang bergerak di lingkungan persuratkabaran, selalu dihubungkan dengan tinta, huruf, dan kertas, tetapi bagi dokter lain lagi, dan lain pula bagi pemain sepak bola. Seperti pada ekspresi berikut.
(1) Buku ini dicetak di Balai Pustaka.
(2) Cetakan batu bata itu besar-besar.
(3) Pemerintah menggiatkan pencetakan lahan baru bagi petani.
(4) Dokter banyak mencetak uang.
(5) Ali mencetak lima gol dalam pertandingan itu.

1.3 Perubahan Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indera
Sinestesis adalah istilah yang digunakan untuk perubahan makna akibat pertukaran indera. Kata sinestesis barasal dari kata Yunani sun ‘sama’ ditambah aisthetikos ‘nampak’. Pertukaran indera yang dimaksud, misalnya antara indera pendengar dengan indera penglihat, indera perasa dengan penglihat. Contoh-contoh berikut adalah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan pancaindera.
(1) Suaranya terang
(2) Katanya manis
(3) Penampilannya manis
(4) Rupanya manis sekali
(5) Kata-katanya pedas
(6) Kata yang manis enak didengar
(7) Kata-katanya sangat pahit bagi kami
(8) Orangnya hitam manis

1.4 Perubahan Makna Akibat Gabungan Kata

Perubahan makna dapat terjadi sebagai akibat gabungan kata, sebagai contoh dari kata surat (sebagai makna umum (1) ‘kertas’, ‘kain’ dan sebagainya yang bertulis berbagai maksud (2) ‘secarik kertas atau kain, dan sebagainya sebagai tanda atau keterangan (3) ‘tulisan’ (yang tertulis) dapat bergabung dengan kata lain dan maknanya berbeda, seperti pada:
(1) surat jalan
(2) surat perintah
(3) surat keterangan
(4) surat kaleng.
Perubahan makna akibat gabungan kata, antara lain, terjadi pada kata rumah, dan makna akibat gabungan tersebut menunjukkan tempat melakukan sesuatu atau tempat khusus seperti pada:
1) rumah sakit
2) rumah makan
3) rumah tahanan
4) rumah jompo
Sekarang muncul pada gabungan antara panti dengan kata lain yang bermakna tempat melakukan sesuatu, seperti pada panti asuhan, panti pijat dan sebagainya.
1.5 Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa
Makna kata dapat mengalami perubahan akibat tanggapan pemakai bahasa. Perubahan tersebut cenderung ke hal-hal yang menyenangkan atau ke hal-hal yang sebaliknya, tidak menyenangkan. Kata yang cenderung maknanya ke arah yang baik disebut amelioratif, sedangkan yang cenderung ke hal-hal yang tidak menyenangkan (negatif) disebut peyoratif.
Kata-kata yang amelioratif, antara lain, kata juara dahulu bermakna ‘kepala penyabung ayam’, kini maknanya menjadi positif (menyenangkan), seperti pada juara renang, juara dunia, dan sebagainya, sedangkan kata-kata yang peyoratif antara lain, kata gerombolan dahulu bermakna ‘orang yang berkelompok’, dengan munculnya pemberontakan di Indonesia kata gerombolan memiliki makna negatif, bahkan tidak menyenangkan dan menakutkan. Kata gerombolan berpadanan dengan ‘pengacu’, ‘pemberontakan’, ‘perampokan’, dan ‘pencuri’.
Kata cuci tangan, dahulu dihubungkan dengan ‘kegiatan mencuci tangan setelah kegiatan makan dan bekerja’, sekarang cuci tangan dihubungkan dengan makna ‘tidak bertanggung jawab di dalam suatu persoalan’ atau ‘tidak mau ikut campur’ (karena kegiatannya membahayakan diri sendiri), perbedaan makna tersebut dapat terlihat ekspresi kalimat berikut.
1. Ia mencuci tangan sebelum makan siang itu.
2. Ia mencuci tangan dengan menjelekkan kawannya sendiri dalam persoalan itu.
3. Cuci tangan pada persoalan yang dihadapinya mengakibatkan orang meragukan dia.


1.6 Perubahan Makna Akibat Asosiasi
Asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh kata tersebut, dengan makna yang baru, makna di dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa (Slametmuljana, 1964). Makna baru ini masih menunjukkan asosiasi dengan makna asli (lama).
Makna asosiasi dapat kita hubungkan dengan waktu atau peristiwa, seperti ekspresi berikut ini :
1. Mari kita rayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
2. Karto Suwiryo mengganas di Jawa Barat.
3. Penjajahan harus kita hapuskan dari bumi Indonesia.
4. Setiap tanggal 21 April para remaja berebut waktu di salon tersebut.
5. Hari ibu di daerah kami dirayakan dengan mengadakan perlombaan bayi sehat.
Djajasudarma (1993), makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan tempat atau lokasi. Kata-kata seperti: Cendana, Monas, Gerogol, Cengkareng, Bandung dan sebagainya menunjukkan makna asosiasi tempat dengan segala peristiwa yang terjadi.
Makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan warna, misalnya, merah putih berasosiasi dengan Negara Indonesia. Warna kuning memiliki makna asosiatif penyakit atau ada yang meninggal bagi daerah tertentu, misalnya Jakarta. Di dalam suatu pertemuan bendera berwarna putih berasosiasi dengan ‘menyerah’ dan lawan akan menghentikan pertempuran tersebut. Warna merah pada lampu stopan mengasosiasikan dengan ‘berhenti’, warna kuning ‘siap-siap’ dan warna hijau ‘berjalan’. Warna hitam mengasosiasikan kita kepada ‘kesukaan’ atau ‘kemalangan’ dan orang Tionghoa yang mendapat kemalangan selalu memakai pita hitam yang menempel pada bajunya.
Makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan tanda (gambar tertentu). Misalnya di dalam lalu lintas kita mengenal rambu-rambu lalu lintas. Tanda Z berasosiasi dengan ‘ jalan berbelok-belok’, ada tanda untuk pom bensin, rumah makan atau rumah sakit,dan sebagainya. Tanda atau lambang yang digunakan biasanya bersifat Internasional dan berlaku secara menyeluruh di dunia.
2. Proses Perubahan Makna
Salah satu aspek dari perubahan bahasa adalah perubahan makna. Perubahan makna ini menjadi sasaran kajian semantik historis. Perubahan makna dapat dianggap sebagai akibat hasil proses yang disebabkan oleh (1) Hubungan sintagmatik, (2) Rumpang didalam kosakata, (3) Perubahan konotasi, (4) Peralihan dari pengacuan yang kongkret ke pengacuan abstrak, (5) Timbulnya gejala sinestesia, dan (6) Penerjemahan harfiah (Djajasudarma, 1993).
Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak kata dengan bermacam ragam, yang mengakibatkan suatu kata, misalnya kata A, bila dihubungkan dengan kata B, akan mempunyai jenis hubungan yang berbeda bila kata A tersebut dihubungkan dengan kata lain C. Dari kenyataan itu kita harus memahami kajian kata (termasuk perubahan maknanya) melalui hubungannya atau sebab-sebab terjadinya perubahan makna.
2.1 Hubungan Sintagmatik
Satuan leksikal dapat mengalami perubahan arti karena (a) kekeliruan pemenggalan morfem-morfemnya, misalnya, kata Jawa pramugari yang terjadi dari awalan pra- dan bentuk dasar mugari ‘pembantu tuan rumah pada peralatan’ dipenggal menjadi pramu-dan -gari. Pemenggalan yang salah ini dipakai untuk menghasilkan bentuk-bentuk lain dengan analogi, sehingga muncul bentuk-bentuk seperti pramuniaga, pramuwisma, pramuria dan sebagainya. Bentuk pramu- kemudian dihubungkan dengan makna ‘pemberi jaksa’ atau ‘pelayan’. Demikian pula untuk remaja yang berasal dari remaja putera ‘anak belasan tahun antara 11 atau 13 tahun’ yang pada gilirannya berasal dari raja putera ‘anak raja’.
Satuan leksikal dapat mengalami perubahan makna akibat (b) persandingan yang lazim (teradat), yang disebut kolokasi. Misalnya, bentuk nasib yang dapat bersanding dengan baik dan buruk dan yang lebih sering muncul nasib buruk daripada nasib baik, lama-kelamaan nasib bermakna konotatif buruk.
Makna satuan leksikal dapat berubah pula sebagai akibat (c) penghilangan salah satu unsurnya. Misalnya tidak semena-mena ‘sewenang-wenang’, unsur keduanya dari bahasa Sansekerta samana ‘seimbang’ menjadi semena-mena dengan arti yang sama ‘sewenang-wenang’, demikian pula bentuk acuh tak acuh yang berarti ‘tidak menghiraukan’ menjadi acuh dengan arti yang sama ‘tidak menghiraukan’.
2.2 Rumpang Didalam Kosakata
Kosakata suatu bahasa kadang-kadang kekurangan bentuk untuk mengungkapkan konsep tertentu. Penutur bahasa dapat memilih satuan leksikal yang ada dan (a) menyempitkan maknanya. Misalnya, pesawat ‘alat’, ‘mesin’, dikalangan penerbang menyempit maknanya sehingga sama dengan pesawat terbang. Bentuk pemerintah ‘yang memerintah’ di dalam tata negara memiliki makna ‘kekuasaan eksekutif yang dibedakan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Perubahan arti dapat terjadi sebaliknya dari yang di ungkapkan di atas, (b) meluaskan makna satuan leksikal. Misalnya, disamping saudara kandung dan ibu kandung, muncul pula ayah kandung, walaupun ayah tidak pernah bersalin atau mengandung dan ayah tidak berasal dari satu kandung. Bentuk kandung kemudian memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Hal yang sama terjadi pada ibu, bapak, dan saudara.
Usaha lain untuk mengisi kekosongan (bentuk-bentuk yang rumpang) didalam bahasa, dengan (c) memakai metafora atau kiasan. Misalnya, lapisan (masyarakat), pada kenyataannya hanya sebagai perbandingan dengan benda yang berlapi-lapis dan yang dimaksud adalah kelas-kelas (masyarakat).
Rumpang di dalam kosakata dapat pula diisi dengan perkembangan (d) acuan yang ada di luar bahasa. Perubahan makna dapat terjadi akibat berkembangnya acuan tersebut, sehingga makna leksikal berkembang pula. Misalnya, bentuk merakit dan perakitan yang bermakna ‘menyatukan komponen-komponen’ di bidang automotif sehingga dipakai sebagai padanan assemble atau assembling.
Demikian pula terjadi pada kata-kata merangkum (mengumpulkan sesuatu menjadi satu) menjadi merangkum (cerita, mengikhtisarkan).
2.3 Sinestesia
Penggabungan dua macam tanggapan pancaindera terhadap satu hal yang sama, disebut sinestesia. Sinestesia dapat mengakibatkan perubahan makna, pengalaman pahit terjadi kombinasi antara pencerapan indera perasa (pengalaman) dan indera pengecap (pahit); pada muka masam terjadi kombinasi indera penglihat (muka) dengan indera perasa (asam); pada suara tajam terjadi penggabungan indera pendengar (suara) dengan indera perasa (tajam).
Penggabungan dua macam tanggapan indera ini dapat dikatakan sebagai perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera karena tampaknya sama (sun +aisthetikos).
2.4 Penerjemah Harfiah
Pemungutan konsep baru yang diungkapkan di dalam bahasa lain terjadi juga lewat penerjemahan kata demi kata, sehingga bentuk terjemahan itu memperoleh arti (makna) baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Salah satu akibat proses perubahan makna yang terjadi adalah adanya satuan leksikal kuno dan satuan leksikal usang. Satuan leksikal yang kuno, antara lain, kehilangan acuannya yang berada di luar bahasa masa kini, sedangkan satuan leksikal yang usang menurun frekuensinya, antara lain, karena konotasi yang dimilikinya. Kadang-kadang satuan leksikal yang kuno atau usang digunakan kembali dengan makna baru. Hal tersebut seperti terjadi di dalam pembentukan istilah Indonesia.
Kata kuno adalah satuan leksikal (kata, frase, bentuk majemuk) yang (a) kehilangan acuannya di luar bahasa, (b) mempunyai konotasi masa yang silam, (c) berasal dari leksikon bahasa pada taraf sebelumnya, atau (d) masih dapat dikenali secara tepat ataupun secara kurang tepat oleh penutur bahasa yang bersangkutan. Bentuk kuno antara lain : ancala ‘gunung’, andakala ‘banteng’, bahana ‘terang’ atau ‘nyata’ dan sebagainya.
Sementara, kata usang adalah satuan leksikon yang sarat dengan konotasi. Beberapa contoh kata usang, yaitu babu ‘pembantu rumah tangga (wanita)’, jongos ‘pembantu rumah tangga (pria)’, kacung ’anak laki-laki’, kuli ‘pekerja kasar’, pelacur ‘tuna susila’, manipol ‘manifesto politik’, nasakom ‘nasionalisme agama komunis’, rodi ‘perintah atau kerja paksa’, romusa ‘pelaku kerja paksa’ (pada zaman Jepang), kumico ‘barang keperluan sehari-hari’, polmah ‘surat kuasa’, karambol ‘permainan bilyar’, serdadu ‘prajurit’, mester ‘ahli hukum’, hopbiro ‘markas besar polisi’, grad ‘derajat’, jaram ‘kompres dingin’.

3. Perluasan Makna
Perluasan makna terjadi pada kata-kata antara lain: saudara, bapak, ibu, dahulu digunakan untuk menyebut orang yang seketurunan (sedarah) dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu dihubungkan dengan orang tua laki-laki dan kata ibu dengan orang tua perempuan. Sekarang ketiga kata tersebut pemakaiannya telah meluas maknanya. Kata bapak digunakan kepada setiap laki-laki yang tua, meskipun tidak ada pertalian darah dengan kita; kata saudara digunakan untuk mereka yang sebaya dengan pembicara; dan kata ibu digunakan untuk perempuan tua, meskipun tidak ada pertalian darah.
Perluasan makna dapat terjadi pula dengan menambah unsur lain, misalnya, kata kepala ‘bagian badan sebelah atas’ (dahulu). Sekarang maknanya meluas, misalnya, kepala bagian, kepala sekolah, kepala kantor pos, kepala rumah sakit, suster kepala (untuk membedakan dari kepala suster). Makna kepala pada bentuk-bentuk tersebut masih tampak, yakni berasosiasi dengan atas, sebab kepala di dalam konstruksi tersebut menunjukkan orang yang memiliki jabatan tertinggi (atas – pemimpin).
Kata kemudi yang dahulu bermakna ‘alat untuk meneruskan jalannya kapal atau perahu’, sekarang muncul frase mengemudikan perusahaan (negara), mengemudikan pesawat. Makna asosiatif menjaga kelurusan (keamanan) masih terasa atau tampak.
Ekspresi atau kata-kata yang disebutkan terdahulu sebagai contoh adalah sebagian kecil yang membuktikan adanya perluasan makna. Perluasan makna umum dihubungkan dengan pemakaian kata secara operasional. Masyarakat bahasa mengambil manfaat baik denggan jalan analogi atau melalui peristiwa tertentu meluaskan makna kata-kata atau ekspresi-ekspresi tertentu.

4. Pembatasan Makna
Makna kata dapat mengalami pembatasan, atau makna yang dimiliki lebih terbatas dibandingkan dengan makna semula. Kata dengan bentukan baru hanya mengacu kepada benda atau peristiwa yang terbatas (khusus). Misalnya :
(1) Ahli,
(2) Ahli penyakit,
(3) Ahli kebidanan,
(4) Ahli sejarah,
(5) Ahli bahasa.
Kita mengetahui bahwa makna ahli semula ‘anggota keluarga’, ‘orang yang termasuk di dalam satu garis keturunan’, ditambah unsur lain maknanya menjadi terbatas atau menyempit.
Kata sastra di dalam bahasa Sansekerta memiliki makna yang luas, tetapi bahasa Indonesia sekarang makna kata sastra hanya dihubungkan dengan karangan-karangan yang bernilai keindahan yang dapat menggugah perasaan.



5. Pergeseran Makna
Makna berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa Indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata, frase) dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Contoh :
1. bui, tahanan atau tutupan ‘tempat orang ditahan atau dipenjara setelah mendapat putusan hakim untuk menjalani hukuman’. Sekarang muncul lembaga pemasyarakatan dan maknanya bergeser ‘selain tempat untuk menahan terpidana menjadi tempat untuk mengubah tingkah laku terpidana agar kelak dapat ditterima kembali oleh masyarakatnya.
2. dipecat, dirasakan terlalu keras, dengan demikian muncul diberhentikan dengan hormat atau dipensiunkan.
3. ditahan, dirasakan menyinggung perasaan orang yang mengalaminya dengan pertimbangan tertentu maka muncul diruntankan dan maknanya bergeser ditahan di rumah bukan di tempat tahanan umum.
4. sogok-menyogok, dirasa terlalu mencolok mata, oleh karena itu muncul pungli (pungutan liar), menyalahgunakan wewenang, komersialisasi jabatan, upeti, dst.
Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk imperatif seperti pada segera laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan terjadi eufemisme. Modalitas keharusan yang muncul dengan konstruksi harus untuk prinsip eufemisme, misalnya, harus datang menjadi mohon hadir, mohon datang. Kata berpidato atau memberi instruksi dirasakan terlalu kasar dan biasanya diganti dengan memberikan pengarahan, memberikan pembinaan, mengadakan saresehan, dan sebagainya.
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya, oleh karena itu, kita tidak mengatakan orang sudah tua di depan mereka yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan, maka muncullah orang lanjut usia. Demikian pula terjadi pergeseran makna pada kata-kata atau frase berikut :
1. tuna netra ‘buta’
2. tuna rungu ‘tuli’
3. tuna wisma ‘gelandangan’
4. tuna susila ‘pelacur’
5. cacat mental ‘orang gila’
6. pramusiwi ‘pelayan (bayi)’
7. pramuwisma ‘pelayan (pembantu)’
8. pramuniaga ‘pelayan toko’
9. menyesuaikan harga ‘menaikkan harga’
10. dipetikan ‘masuk kotak’
Djajasudarma (1993), mengatakan pemakai bahasa dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsur yang terdapat di dalam bahasanya. Memakai bahasa berusaha agar kawan bicara tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu muncul pergeseran makna. Dikatakan pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian lambang (simbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau orang yang mengalami makna yang di ugkapkan kata atau fraseyang disebutkan).






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ketaksanaan atau ambiguitas merupakan bagian makna dari bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksanaan atau ambiguitas dapat terjadi pada sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksanaan atau ambiguitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasa untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Perkembangan makna bahasa mencakup segala hal tentang makna yang mengalami perkembangan. Perubahan makna bahasa merupakan gejala yang terjadi di dalam suatu bahasa akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor didalam bahasa maupun diluar bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar